![]()  | 
| dawet jembut kecabuf Purworejo kuliner ikoniknya Purworejo/foto kompas.com | 
Sejarah Dawet Jembut Kecabut berawal pada tahun 1950-an, saat Mbah Ahmad Dansri merintis usaha minuman dawet di kawasan Kecamatan Butuh. Awalnya, dawet ini dibuat untuk para petani yang sedang panen, dengan cara dijajakan dari sawah ke sawah. Karena cita rasanya yang menyegarkan dan berbeda dari dawet pada umumnya, minuman ini cepat mendapat tempat di hati masyarakat.
Popularitasnya semakin besar ketika sebuah warung dawet berdiri di timur Jembatan Butuh, Kecamatan Butuh. Dari situlah muncul nama khas yang hingga kini tetap dipakai, yakni “Jembut Kecabut”, akronim dari Je(m)batan Butuh – Ke(ca)matan Butuh.
Keunikan Dawet Jembut Kecabut terletak pada bahan dan proses pembuatannya. Cendol berwarna hitam yang digunakan tidak berasal dari pewarna buatan, melainkan dari abu jerami padi yang dibakar, lalu diendapkan dan dicampur dengan adonan tepung pati. Kuah santan yang gurih dan larutan gula kelapa asli menjadi pelengkap yang menambah nikmatnya sensasi segar dawet ini.
Hingga kini, cita rasa tradisional itu masih dipertahankan oleh para generasi penerus pedagang. Tak hanya warga lokal, wisatawan dari berbagai daerah pun kerap menyempatkan diri mampir untuk mencicipinya.
Soal harga, Dawet Jembut Kecabut tetap ramah di kantong. Satu mangkuk dijual dengan harga sekitar Rp4.000 – Rp5.000, dan jika ditambah tape ketan atau pelengkap lainnya, cukup menambah sekitar seribu rupiah saja.
Lebih dari sekadar minuman pelepas dahaga, Dawet Jembut Kecabut kini telah menjadi bagian dari identitas kuliner Purworejo. Dari sejarah panjang sejak 1950-an hingga saat ini, keberadaannya terus dijaga sebagai warisan rasa yang patut dilestarikan. Saat ini, dawet jembut kecabut ini dikelola oleh cucunya yaitu Wagiman.

