![]() |
Talkshow Hari Santri: PCNU Purworejo Perluas Makna Santri |
Pandangan ini secara fundamental menyasar khalayak Nahdliyyin yang lebih luas, memberikan afirmasi spiritual yang kuat bagi para pengabdi organisasi.
Definisi Santri yang Meluas: Dari Pondok hingga Majelis Taklim
KH. Haekal menekankan bahwa label santri bukanlah batasan geografis atau fisik, melainkan sebuah gelar spiritual yang dapat disandang oleh siapa saja yang memiliki niat tulus untuk berbenah diri dan menuntut ilmu agama.
"Santri itu tentu tidak hanya yang secara fisik berada di pesantren. Santri juga adalah mereka yang aktif di langgar (surau), di mushola, atau majelis taklim," ujar KH. Haekal.
Menurutnya, intensi dan kesungguhan untuk memperbaiki diri melalui kegiatan keagamaan, bahkan di tempat-tempat pendidikan non-formal, sudah cukup untuk menyematkan gelar 'santri'. Ini adalah sebuah penegasan bahwa setiap individu yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama dan beribadah, secara spiritual, telah tergolong dalam komunitas santri.
'Ngurusi NU' Adalah Mandat Kesantrian dan Khusnul Khotimah
Puncak dari pandangan revolusioner KH. Haekal adalah saat ia mengaitkan makna santri dengan peran keorganisasian dalam Nahdlatul Ulama (NU). Ia merujuk pada amanat monumental dari pendiri NU, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari.
"Bahkan bisa dimaknai lebih luas lagi, sebagaimana dawuh (sabda) Kiai Hasyim Asy'ari: 'Siapa yang mau ngurusi NU, aku anggap sebagai santriku, dan aku doakan khusnul khotimah,'" paparnya dengan penuh penekanan.
Pernyataan ini bukan sekadar motivasi, melainkan sebuah legitimasi spiritual yang luar biasa. Berkhidmat (mengabdi) di NU, dari tingkat Pengurus Besar (PBNU) hingga Ranting (PRNU) di desa-desa, kini diakui tidak hanya sebagai tugas organisatoris semata, tetapi sebagai bentuk kesantrian sejati yang dijanjikan keberkahan dan doa mulia langsung dari sang pendiri. Ini memberikan spirit baru bagi ribuan pengurus dan aktivis di semua tingkatan.
Gelar 'Santri Sejati' kini resmi disandang oleh setiap kader yang berkhidmat. Ini mencakup seluruh Badan Otonom (Banom) NU, mulai dari tingkatan pusat hingga ranting di desa. Artinya, setiap pemuda Ansor, setiap personel Banser yang berjuang di garda terdepan, setiap ibu Muslimat dan pemudi Fatayat yang menggerakkan ekonomi umat, hingga setiap siswa dan guru di LP Ma'arif yang mencerdaskan bangsa, serta aktivis IPNU dan IPPNU yang menanamkan nilai-nilai Aswaja, dan Badan Otonom lainnya. Mereka semua bukan sekadar pengurus organisasi, mereka adalah para santri yang sedang menjalankan khidmah (pengabdian) sebagai wujud nyata menuntut ilmu dan beribadah.