![]() |
Korban Investasi bodong |
Dalam proses hukum, Dwi Rahayu hanya dijatuhi vonis pidana 2,5 tahun penjara. Merasa tidak puas dengan putusan tersebut, para korban mengambil langkah dengan mengajukan pemblokiran gaji pensiunan mereka ke PT Taspen Pusat.
Koordinator korban, Yasmin Istono, menyebutkan bahwa pemblokiran ini menjadi salah satu upaya agar hak-hak para pensiunan dapat dipulihkan.
“Kami mengantarkan surat pemblokiran ke Taspen Pusat. Ada 106 korban, bahkan bisa lebih karena ada yang memiliki dua SK. Kalau diblokir, gaji kami kembali utuh. Kalau tidak, kami terus dirugikan,” tegasnya, Kamis (4/9/2025).
Kasus ini bermula dari modus pinjaman dengan proyek fiktif yang ditawarkan Dwi Rahayu kepada para pensiunan. Para korban dijanjikan keuntungan, sehingga bersedia menyerahkan SK Pensiun sebagai jaminan pinjaman di bank. Setelah pinjaman cair, dana tersebut justru diminta oleh Dwi Rahayu, sementara para pensiunan harus menanggung cicilan hingga ratusan juta rupiah.
Akibatnya, SK Pensiun yang semestinya menjadi hak pribadi ditahan oleh pihak bank, dan gaji korban dipotong setiap bulan untuk melunasi pinjaman.
“SK kami ditahan, cicilan jalan terus, padahal proyek yang dijanjikan fiktif. Modus ini rapi sekali. Kalau bukan kejahatan korporasi, lalu apa?” ungkap Yasmin.
Menurutnya, permohonan pemblokiran sudah diajukan sejak 29 Agustus lalu dan seluruh syarat administrasi telah disetujui PT Taspen.
Selain ke PT Taspen, para korban juga berencana melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI terkait indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Dana pensiun yang seharusnya masuk ke rekening kami justru diputar melalui skema kredit berbasis proyek fiktif. Ini uang negara. Tanpa bujuk rayu Dwi Rahayu, kami tidak akan menyerahkan SK. Inilah yang kami sebut pencucian uang,” jelas Yasmin.