kesenian cing Po Ling |
Menurut Marwoto, seorang pemangku budaya sekaligus pelaku seni tradisi di daerah kecamatan Pituruh, istilah Cing Po Ling sebenarnya merupakan penyederhanaan dari kata Krincing, yang merujuk pada suara lonceng kecil (krincingan) yang dipakai para penari, dan Dipo atau Keling, yang merujuk pada sosok penari laki-laki berkulit gelap dengan kostum khas menyerupai prajurit atau penjaga kerajaan. “Dulu masyarakat menyebutnya ‘Krincing Dipo’ atau ‘Tari Keling’, karena gerakan dan kostumnya sangat khas, terinspirasi dari budaya luar yang melebur dengan kearifan lokal,” jelas Marwoto.
Marwoto juga menyebut bahwa kesenian ini berkembang pada masa keberadaan Kademangan di Desa Kesawen — struktur pemerintahan tradisional sebelum terbentuknya desa modern. Di masa itu, seni Krincing Dipo bukan hanya sekadar hiburan, melainkan sarana ritual untuk menjaga harmoni masyarakat dan bentuk ekspresi kebanggaan budaya lokal.
“Dulu kesenian ini dimainkan dalam acara-acara adat, bersih desa, hingga penyambutan tamu penting. Setiap gerakan memiliki makna filosofis, dan biasanya dimainkan oleh lelaki, dengan iringan musik gamelan sederhana dan suara krincing sebagai pengiring utama,” imbuhnya.
Namun seiring waktu, kesenian ini sempat mengalami kemunduran hingga nyaris punah. Kini, dengan pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2021, serta dorongan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Purworejo, Cing Po Ling kembali mendapat tempat terhormat di hati masyarakat.
Tidak hanya direvitalisasi, tapi juga dimodernisasi dengan sentuhan pendidikan formal — seperti dijadikan ekstrakurikuler di SDN Kesawen. “Kami harap nama aslinya juga tidak dilupakan, karena Krincing Lipo adalah akar identitasnya. Nama boleh Cing Po Ling, tapi ruhnya tetap Krincing Dipo dari zaman Demang Kesawen,” tegas Marwoto.
Dengan rencana pementasan di TMII sebagai Duta Seni Jawa Tengah pada 27 Juli 2025, masyarakat Desa Kesawen tak hanya menampilkan tarian, tetapi mewariskan kembali sejarah dan harga diri budaya lokal kepada Indonesia.