Sarasehan peringatan 200 tahun Perang Jawa |
Dengan pembawaan yang hangat dan komunikatif oleh Mastri Imammusadin, S.H., acara ini menghadirkan tokoh-tokoh penting dalam bidang sejarah, sastra, dan seni budaya. Di antaranya Dr. Sudibyo, M.Hum., Budayawan Bagas Pratyaksa Nuraga, dan sastrawan nasional Dr. Junaedi Setiyono, M.Pd. Diskusi dipandu secara dinamis oleh Mahestya Andi Sanjaya dan Achmad Fajar Chalik.
Mengangkat dua tema besar, yakni “Perang Jawa: Dilema Tjokronogoro” serta “Perang Jawa dari Sudut Pandang yang Lain: Novel Glonggong Karya Junaedi Setiyono”, para narasumber membedah sisi-sisi tersembunyi dari salah satu konflik terbesar dalam sejarah Nusantara.
Dalam paparannya, Dr. Sudibyo menekankan pentingnya merawat ingatan kolektif bangsa.
“Perang Jawa bukan sekadar soal senjata dan pertempuran. Ia adalah arena benturan ideologi, pengkhianatan, dan kehormatan. Tjokronogoro adalah tokoh yang terhimpit di antara kekuasaan kolonial dan desakan rakyat. Dilema seperti inilah yang perlu dikaji ulang, agar sejarah bisa jadi cermin masa depan,” ujarnya penuh penekanan.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dinpursip) Kabupaten Purworejo, Stefanus Aan, turut hadir dan mengapresiasi penyelenggaraan kegiatan ini.
“Ini bukan hanya peringatan sejarah, melainkan upaya literasi budaya dan penguatan identitas lokal. Kegiatan ini sangat edukatif dan menginspirasi,” katanya.
Tak hanya diskusi, sarasehan juga dihiasi dengan penampilan artistik bertajuk “Perempuan Dipanegara”. Pementasan tersebut menghadirkan kolaborasi apik antara Titi Prabandari, Dedy Harnanto, Harpi Melati, dan Nungki Nur Cahyani. Selain itu, karya seni rupa bertema “Perang Jawa” dari Edi, seniman dari komunitas PFA, turut memperkuat narasi visual acara ini.
Kegiatan ini didukung penuh oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinpursip, Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Purworejo, serta sejumlah komunitas budaya seperti Patra Padi, Lelana Indonesia, Teras SeniKu, dan Nildance. Kehadiran para pegiat budaya, pelajar, dan masyarakat umum menambah semarak acara yang tidak hanya menyentuh sisi sejarah, namun juga menggugah jiwa dan estetika.
Melalui sarasehan ini, Perang Jawa tak lagi sekadar bab dalam buku sejarah. Ia hidup kembali dalam narasi, gerak seni, dan renungan kolektif. Sebuah penanda bahwa perjuangan, budaya, dan ingatan akan selalu punya tempat di hati generasi penerus. (tanto)