Notification

×

Iklan

Sejarah Ayam Panggang dalam Tradisi Merti Desa Pamriyan dan Sekitarnya

Kamis, 18 September 2025 | 14:20 WIB Last Updated 2025-09-18T09:58:28Z

ambeng atau ingkung merti desa 
PURWOREJO – Tradisi merti desa atau sedekah bumi telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Di Kabupaten Purworejo, khususnya di wilayah Pituruh dan Bruno, tradisi ini tetap hidup hingga sekarang. Salah satu ciri khas yang selalu hadir dalam upacara adat tersebut adalah sajian ayam panggang (ingkung).


Dalam budaya Jawa, ingkung dipandang sebagai lambang kepasrahan dan doa. Ayam yang dimasak utuh dengan kepala menunduk dianggap sebagai simbol ketundukan manusia kepada Sang Pencipta. Lebih dari sekadar makanan, ingkung menjadi medium spiritual yang menyatukan manusia, alam, dan leluhur.


Desa Pamriyan, Kecamatan Pituruh, dikenal luas dengan tradisi merti desa yang spektakuler. Setiap tiga tahun sekali, warga menggelar acara adat dengan menghadirkan ribuan ayam panggang. Pada 2018 lalu, tercatat sekitar 5.000 ekor ingkung tersaji dalam 47 ancak (ambeng) besar. Sajian ini diarak dalam kirab budaya, didoakan, lalu dibagikan kepada seluruh masyarakat. Total biaya yang dikeluarkan warga mencapai ratusan juta rupiah, hasil dari gotong royong setiap kelompok dusun. Tradisi ini menjadikan Pamriyan sebagai ikon budaya Purworejo dan kerap diliput media lokal maupun nasional.


Tidak hanya Pamriyan, desa-desa lain di sekitarnya juga memiliki tradisi serupa. Di Kemranggen, Bruno, ayam panggang menjadi sajian utama sedekah bumi. Setiap keluarga membawa ingkung dan hasil bumi untuk kenduri bersama di balai desa. Setelah doa, semua sajian dibagikan merata sebagai lambang persatuan.


Sementara itu, di Wonosido, Pituruh, ingkung hadir dalam merti dusun yang diselenggarakan rutin. Doa keselamatan dipanjatkan di punden desa, lalu ingkung disantap bersama-sama warga. Tradisi ini dipercaya menjaga harmoni antara manusia dan alam.


Di wilayah pegunungan, Desa Karanggedang, Kecamatan Bruno, juga melestarikan syukuran desa dengan menyajikan ingkung. Bagi masyarakat agraris Bruno, ayam panggang adalah simbol doa agar pertanian tetap subur dan panen melimpah. Prosesi biasanya dilakukan di balai desa atau punden yang dianggap keramat.


Meski skala dan bentuk penyelenggaraan berbeda—Pamriyan dengan ribuan ingkung, sementara desa lain dengan sajian sederhana—semuanya memiliki makna yang sama: ungkapan syukur atas rezeki, doa keselamatan, dan perekat kebersamaan antarwarga.


Seiring waktu, tradisi ingkung dalam merti desa tidak hanya menjadi ritual spiritual, tetapi juga identitas budaya. Dari Pamriyan hingga desa-desa sekitar, ayam panggang menjadi saksi perjalanan sejarah masyarakat pedesaan di Purworejo, warisan leluhur yang terus dijaga lintas generasi.

×
Berita Terbaru Update