PURWOREJO – Tradisi Nyadran yang sarat makna spiritual dan budaya kembali digelar oleh warga Desa Kedunglo, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Purworejo, di Petilasan Sunan Kalijogo dan Sunan Geseng, pada Selasa (22/7/2025).Tradisi Nyadran di Desa Kedunglo, Kemiri
Kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap bulan Suro ini menyatukan ratusan warga dalam suasana religius, khusyuk, sekaligus penuh kehangatan kebersamaan. Total 828 ayam jantan dan 10 kambing disembelih sebagai bagian dari prosesi ritual.
“Kalau dalam bulan Suro ada Jumat Kliwon, nyadran digelar hari itu. Tapi kalau tidak ada, kita pilih Selasa Kliwon, seperti hari ini,” jelas Slamet, Ketua Panitia Nyadran.
Salah satu keunikan dari tradisi ini adalah seluruh proses memasak dilakukan oleh kaum pria, tanpa melibatkan perempuan sama sekali, sesuai adat yang telah berlangsung turun-temurun. Daging ayam dan kambing yang telah dimasak kemudian disantap bersama dan dibagikan kepada warga serta para tamu undangan.
Beberapa warga yang mengikuti nyadran menyumbangkan hewan sebagai bentuk nadzar kepada Eyang Sunan Kalijogo dan Sunan Geseng, yang diyakini membawa berkah. Bagi warga tanpa nadzar, mereka tetap bisa berpartisipasi dengan iuran Rp 35 ribu untuk warga lokal dan Rp 40 ribu bagi warga dari luar desa.
Prosesi dimulai sejak pagi hari dan mencapai puncaknya pada pukul 13.00 WIB, saat ratusan warga berkumpul membawa tumpeng dan makan bersama di area sekitar petilasan.
Nyadran di Kedunglo dilaksanakan di dua titik: Kulon Kali dan Krajan (Wetan Kali). Pemotongan hewan sebagian besar dilakukan di Kulon Kali, sebagaimana disampaikan Ngaiman, Sekretaris Desa Kedunglo.
“Tradisi ini bukan hanya simbol kebersamaan, tapi juga bentuk penghormatan terhadap para leluhur yang dahulu mengajarkan ilmu kehidupan, termasuk bertani dan berladang,” tambah Slamet.
Petilasan Sunan Kalijogo dan Sunan Geseng merupakan tempat yang sangat dihormati masyarakat. Di luar momen nyadran, lokasi ini juga sering diziarahi pada malam Jumat Kliwon, bahkan menjadi tempat tirakat semalam suntuk bersama juru kunci.
Dulu, sebelum 1981, bangunan petilasan hanya berupa pagar bambu dan payung ijuk. Kini telah berdiri bangunan permanen, hasil renovasi terakhir dilakukan pada tahun 2013.
Meski kegiatan kental dengan suasana religius, suasana tetap meriah dan penuh keceriaan. Sekitar 460 warga mengikuti prosesi, menjadikan acara ini sebagai momen penting yang mempererat nilai sosial dan spiritual masyarakat Kedunglo.
Melalui tradisi ini, warga berharap agar Desa Kedunglo senantiasa dilimpahi keselamatan, kerukunan, dan ketenteraman, sekaligus menjadi warisan budaya yang terus hidup di tengah zaman yang terus berubah.